This report was saved incorrectly! Please re-Save the report using instructions:

http://www.plagiarism-detector.com/smf_bb/index.php?topic=341.msg369#msg369

Plagiarism Detector v. 1092 - Originality Report:

Analyzed document: 1/21/2019 2:42:27 PM
"FINAL (2) HAK UPAH DALAM PERSPEKTIF NORMATIF (JURNAL INSPIRASI, EDISI DESEMBER 2007, NO. 2, VOL. NO. 2, ISSN NO. 1907-2015, BY STKIP TA).docx"
Licensed to: Universitas Kadiri_License3

Relation chart:

Distribution graph:
Comparison Preset: Rewrite. Detected language: Indonesian
Top sources of plagiarism:



Processed resources details:
170 - Ok / 16 - Failed
Important notes:
Wikipedia:
Google Books:
Ghostwriting services:
Anti-cheating:
Wiki Detected!
GoogleBooks Detected!
[not detected]
[not detected]
Excluded Urls:
http://www.fik-unik.ac.id/detailpenelitian/Penelitian/1/330/Efektivitas%20Relaksasi%20Bens...
http://www.fik-unik.ac.id/detailpenelitian/Penelitian/1/167/SOSIAL%20EKONOMI%20TERHADAP%20...
Included Urls:
Detailed document analysis:
HAK UPAH DALAM PERSPEKTIF NORMATIFDjoko Heroe soewono
Abstrak
Hukum ketenagakerjaan diterbitkan oleh pembuat undang-undang untuk memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang kurang berdaya dalam menghada
pi kesewenangan pemberi kerja. Hukum ketenagakerjaan mempunyai
peran untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu keberadaannya benar-benar
memperhatikan keseimbangan kepentingan dalam hubungan kerja.
Salah satu hal yang wajib diperhatikan pemberi kerja (pengusaha), yakni hak upah sesuai kebutuhan hidup layak berdasarkan aturan hukum positif. Dengan demikian akan tercipta hubungan kerja yang harmonis, memahami permasalahan masing-masing, dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. A.
PendahuluanDalam (hasil amandemen) UUD 1945
secara tegas
dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

. Ketentuan dasar ini dipertegas
dalam undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa : Setiap Pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka memenuhi hal tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/ buruh. Melalui kewenangannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
, pemerintah berhak melakukan intervensi dalam rangka untuk memberi pelayanan, pengawasan, dan penindakan
hukum.Dalam negara kesejahteraan (welfare state
), terutama pihak pemerintah dianggap bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum setiap warganya guna tercapai suatu kehidupan yang sejahtera. Hal ini selaras dengan pernyataan Gooding
bahwa dalam negara kesejahteraan, campur tangan negara
sangat diperlukan
guna meningkatkan suatu kesejahteraan umum dan mengoptimalkan keseja
hteraan sosial.
Tiadanya campur tangan pemerintah (dalam ranah negara kesejah
teraan) akan menimbulkan ketidak-stabilan sosial, khususnya nilai tawar upah yang diajukan pihak pekerja kepada pengusaha tidak memberi makna dalam setiap negoisasi, hal ini sangat merugikan kepentingan pekerja, bahkan
asas keseimbangan kepentingan sebagai asas hukum, selain asas pengawasan publik dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan
proses dan hasil produksi dalam hubungan kerja tidak bernilai, bahkan eksistensi asas-asas tersebut yang melandasi peraturan perundang-undangan akan sia-sia belaka. Hal ini menyimpang dari apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945, karena itu berdasarkan amanat tersebut, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif, persamaan dihadapan
hukum, hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, dan
hak-hak lainnya, seperti standar
pengupahan minimum, upah kerja lembur, pesangon, upah tidak masuk kerja karena berhalangan dan upah tidak masuk kerja karena ada suatu kegiatan lain di luar pekerjaannya dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Hak-hak tersebut wajib mendapatkan perlindungan dengan memperhatikan asas keseimbangan dan batas
kewenangan pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketena
gakerjaan.Pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap pekerja, ketika melakukan nilai tawar upah melalui negoisasi dengan pengusaha telah menetapkan standar upah
minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan nilai produkti
vitas serta tingkat pertumbuhan ekonomi. Perintah hukum (undang-undang)
melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Kelalaian terhadap hal tersebut, maka bagi pengusaha yang melanggar ketentuan hukum tersebut, yakni membayar upah lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan. Sebaliknya pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan kenaikan upah minimum kepada Gubernur.
Selanjutnya permohonan tersebut oleh Gubernur setelah memenuhi syarat administrasi dan
menerima saran dan pendapat dari Dewan Pengupahan Provinsi, maka Gubernur menetapkan penangguhan pelaksanaan upah minimum, dengan diktum, yaitu : Pertama, membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama ; atau Kedua, membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum baru ; atau Ketiga, menaikkan upah minimu
m secara bertahap. Dalam hal Gubernur menolak permohonan penangguhan pelaksanaan tersebut, maka pihak yang
memohon penangguhan pelaksanaan upah minimum
wajib melaksanaan perintah hukum.Prosedur dan ketentuan normatif pada tingkat implementasi yang seharusnya oleh pengusaha dipatuhi, tampaknya masih banyak pelanggaran hukum
yang dilakukannya. Hal ini karena pengusaha yang terikat dalam kegiatan proses produksi cenderung berpikir profit orientit, sehingga kurang mengindahkan berlakunya aturan hukum yang diperparah dengan kurang seriusnya pemerintah selaku institusi yang menjalankan fungsi pengawasan dalam melakukan tindakan bagi pelanggar hukum. Salah satu kurang seriusnya pemerintah, yakni maraknya para pemberi kerja, baik sektor formal maupun informal belum memenuhi target minimum sebagaimana dimaksud ketentuan
Pasal 90 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
, pencapaian kebutuhan hidup layak dan pelaksanakan peninjauan upah secara berkala. Sebagaimana diketahui kawasan asia tenggara, meliputi Indonesia, Malaysia, dan negara tetangga lainnya terkena terpaan implikasi krisis global yang menerpa negara besar antara lain Amerika, Inggris, dan negara kawasan eropa dan asia timur la
innya. Dampak ini dirasakan oleh pengusaha dan pekerja di Indonesia, yang umumnya kurang paham dalam menghadapi situasi dan kondisi yang mendadak untuk mencari solusi. Kondisi ini berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja. Apakah dampak krisis ekonomi dan moneter ini harus dibebankan epada tanggungjawab pemerintah, pengusaha, atau dipikul bersama-sama sebagai tanggungjawab moral semata. Eronisnya terpaan tersebut, meluncur hingga saat ini yang berimplikasi terhadap pemberian upah. Dampak krisis, harus pula ditanggung pekerja dalam bentuk penyesuaian upah kerja, bonus, tunjangan, maupun bentuk apresiasi lainnya. Hingga kini, gelombang krisis ekonomi dan moneter masih sangat terasa, terutama dikalangan pengusaha menengah ke bawah beban hidup cukup berat. Kondisi ini menerpa pula kalangan pekerja yang kebutuhan hidupnya sangat ketergantungan dari para majikan (pengusaha), yang berkuasa atas kepemilikan perusahaan, di mana pekerja mengabdi diri. Tumpang tindih kepentingan seharusnya dapat dihindari pelaku ekonomi, yaitu pekerja dan pengusaha dalam ikatan hubungan kerja. Hal ini guna menjaga asas keseimbangan dalam kepentingan, di mana pekerja ketergantungan kepada pengusaha. Sebaliknya pula dipihak pengusaha tidak dapat melaksanakan kegiatan (proses) produksi tanpa kehadiran pekerja, karena itu perlunya dibangun hubungan kerja yang dapat memberi nilai kemanfatan, yakni kesejahteraan, khususnya bagi pekerja serta keluarganya, dan masyarakat umumnya.Timbulnya f
enomena tersebut, dipergunakan sebagai dasar alasan bagi kalangan pengusaha untuk berdalih tidak mampu harus memberi upah sesuai ketentuan hukum. Hal ini sangat dirasakan bagi pekerja, bahwa upah yang seharusnya
diterima sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam
kenyataannya tidak sesuai ketentuan normatifnya.B. Rumusan Masalah
Seperti diketahui bahwa permasalahan yang timbul dalam intern perusahaan tidak semata karena sistem manajemen
yang masih belum memposisikan pekerja sebagai mitra kerja, melainkan pula faktor ekstern yang lkut mewarnai keputusan manajemen mengambil langkah yang kurang profesional serta proporsional dalam memahami asas keseimbangan kepentingan yang berpengaruh terhadap pemenuhan pencapaian kebutuhan hidup layak.Bertitik tolak dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut, yakni : Apa alasan perusahaan tidak pemberikan upah sesuai ketentuan normatif ? dan apa hal itu dapat dibenarkan oleh hukum. C. Pembahasan
Pada umumnya fenomena persoalan yang timbul di dalam lingkungan perusahaan bermuara dari kurang kondusifnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang disebabkan suatu benturan kepentingan, di mana pengusaha lebih berorientasi pada aspek keuntungan yang memandang para pekerja hanya sebagai sarana produksi dan perlakuan diskriminatif, terutama ketika menentukan pengupahan berdasarkan format perusahaan.Tampaknya asp
ek pengupahan muncul sebagai persoalan yang tiada akhir hingga saat ini. Isu saling curiga mewarnai berlangsungnya kegiatan (proses) produksi antara para pelaku ekonomi, terutama pada substansi permasalahan perjanjian dalam hubungan kerja, yakni pola pengupahan yang belum memenuhi pencapaian kebutuhan hidup layak, kecuali sekadar memenuhi ketentuan
Pasal 89 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Permenaker No. Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum, juncto Kepmenakertrans No. Kep-226/ 2000 tentang perubahan Ketentuan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20, Pasal 21 No. Per-01/1999 tentang Upah Minimum
dan Penetapan Keputusan Gubernur tentang
Ketentuan Upah Minimum Kota dan Kabupaten
yang upahnya masih di bawah kebutuhan hidup layak, seperti jumlah penerimaan upah pekerja belum memenuhi kebutuhan keluarga secara wajar meliputi sandang pangan, papan, jaminan hari tua, pendidikan, rekreasi, serta kesehatan. Pelbagai permasalahan tersebut, tidak dapat terlepas dari aspek komunikasi yang kurang efektif antara pengusaha dengan pekerja, khususnya dalam menyatukan pemikiran yang berbeda kepentingan mengenai hak pengupahan, kesejahteraan (meliputi pelayanan jaminan
sosial), keselamatan dan kesehatan kerj
a. Hal ini diperparah dengan adanya tidak dipatuhinya oleh sebagian besar pengusaha dalam
melaksanakan Upah Minimum kota dan kabupaten sesuai Surat Keputusan Gubernur, walaupun keberadaan Keputusan Gubernur ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang No. 1
3 Tahun 2003. Indonesia
sebagai negara hukum sangat dilematis dalam menangani persoalan isu ketenagakerjaan, terutama menghadapi globalisasi pasar yang berdampak pada kompetisi upah murah, stabilitas kerja dan pemanfaatan pekerja yang produktif sebagai perangsang bagi investor. Pemerintah yang mempunyai fungsi
pengawasan, penindakan, tampaknya kurang dipatuhi keberadaannya dalam melaksanakan perintah hukum, bahkan ada kesan di mana pemerintah tidak berdaya dalam menghadapi para pengusaha, terutama ketika pengusaha melakukan penekanan terhadap kalangan pekerja, bahkan pemerintah kurang tegas dalam penegakan
hukum terhadap pengusaha yang bertindak sebagai
penguasa perusahaan dan pemegang kontrol pengendalian pengupahan, walaupun Amerika Serikat sebagai investor/ penanam modal asing telah memberi peringatan negara berkembang untuk tidak menekan hak pekerja, bahkan negara tersebut tidak segan-segan memberi sanksi pencabutan quota eksport tekstil atau penerapan ketentuan umum (social clause) melalui sidang World Trade Organization (WTO), serta sidang International Labour Organization dengan dasar alasan pemerintah Indonesia tidak memperhatikan hak pekerja.Peringatan dari adi daya tersebut, dianggap oleh elite pengusaha domistik sebagai bentuk ancaman yang tidak perlu dirisaukan, karena penekanan terhadap hak pekerja dan sistem pengupahan
(meliputi penjadwalan pengupahan) cenderung sebagai dampak krisis moneter dan ekonomi yang mengganggu kinerja sistem manajemen serta menimbulkan isu kelabilan bagi prusahaan, khususnya dalam kegiatan proses produksi dan pemasaran hasil
produksi, sedangkan bagi pekerja
upah yang diterimanya dari perusahaan sebagai imbalan penghargaan atas pekerjaan yang telah dilaksanakannya selama kurun waktu tertentu. Hal ini merupakan hak pekerja yang wajib dipatuhi, lepas dari permasalahan ada atau tiadanya krisis moneter dan ekonomi, walaupun besarnya nilai pengupahan dan sistem pengupahan dapat dimusyawarahkan antara pekerja dengan pengusaha dalam lingkungan perusahaan.Maraknya tuntutan peng
upahan yang kurang proporsional dan minimnya perhatian pengusaha terhadap tingkat kesejahteraan semakin membuat kelabilan bagi perusahaan, baik kegiatan proses produksi, sistem manajerial maupun pemasarannya yang berimplikasi terhadap kepentingan konsumen. Permasalahan ini sebagai konsekuensi dari menurunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (periode tahun 1997), yang berimplikasi hingga saat ini.L
iberalisasi ekonomi global menyeret Indonesia dalam situasi yang dilema, namun masuknya Indonesia dalam ranah WTO, membuka peluang bagi meningkatnya kehidupan yang lebih sejahtera, jika Indonesia siap untuk berkompetisi dalam pasar global, karena itu Indonesia memperlukan pembenahan dipelbagai sektor dalam memasuki globalisasi pasar, terutama aspek regulasi dan stabilitas kerja. Guna menciptakan peluang kerja
yang sejuk serta kompetitif dalam mengantisipasi pasar global, kemitraan merupakan bentuk pilihan yang patut
diperhatikan untuk mencegah persaingan usaha yang kurang
sehat, dan peran negara dalam menciptakan ketertiban dan ketenangan kerja dalam pasar global perlunya memperhatikan rasa keadilan dan kepastian hukum.Indonesia
sebagai negara hukum dan berdasarkan ideologi Pancasila, penegakan hukum harus mempertimbangkan aspek filosofis, yakni berdasarkan nilai serta kaidah yang berlaku di dalam masyarakat. Hukum dan keadilan harus selaras satu terhadap lainnya. Bertautan dengan hal tersebut, perlu memperhatikan 3 (tiga) cita hukum yang mendasari pilar-pilar penegakan hukum, yakni :Kepas
tian hukum, yakni fungsi hukum menjaga ketentraman, ketertiban, serta kepastian hukum
dan memberi perlindungan hak dan/ atau kepent
ingan yang dibenarkan hukum (justifiable) dari tindakan sewenang-wenang penguasa ;Keman
faatan, yakni fungsi hukum harus memberi kontribusi dan kemanfaatan atau kegunaan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, negara ;Keadilan, fungsi hukum harus mempunyai kualitas keadilan, walaupun ukuran keadilan pada tingkatan implementasi beraneka ragam, yakni bersifat obyektif atau subyektif.Ketiga aspek tersebut terkris
talisasi dalam cita hukum Pancasila. Dengan demikian hukum dan keadilan mempunyai pertalian yang erat satu terhadap lainnya, dan tidak dapat dipisahkan karena hakikat hukum adalah keadilan.D
alam rangka mewujudkan supremasi hukum harus memenuhi syarat utama yaitu Pertama, aturan hukum ; Kedua, penegak hukum ; Ketiga, lingkungan berlakunya hukum.Pertama,
aturan (isi) hukum wajib dibuat dengan memperhatikan aspek prosedural dan hukum dibuat sesuai dengan kesadaran hukum untuk kepentingan perseorangan serta masyarakat, sebaliknya aturan hukum tidak akan mencerminkan keadilan, jika jarak antara hukum dengan realitas sosial cukup jauh sehingga pekerja sebagai bagian dari masyarakat merasa asing terhadap aturan hukumnya sendiri. Kemungkinan hal ini dapat timbul, karena keberadaan hukum berada jauh di depan sehingga tidak terjangkau oleh realita sosial atau ketinggalan zaman, dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kepastian hukum. Kedua, penegak hukum, yaitu : a. penegak hukum sekedar
corong peraturan, kecuali jika penerapan hukum akan menimbulkan ketidak-adilan.b.
penegak hukum bertindak selaku penafsir hukum agar dapatnya aturan hukum menjadi sarana keadilan karena aturan hukum tidak sempurna, baik bahasanya maupun obyek yang diaturnya tidak lengkap.c.
penegak hukum merupakan pencipta hukum, dalam hal ada kekosongan hukum (hukum tidak cukup mengatur kepentingan/ kebutuhan masyarakat baik bersifat konkrit atau proyeksi kebutuhan di masa depan).Ketiga,
lingkungan sosial berlakunya hukum. Eksistensi aspek hukum dipengaruhi sosial, ekonomi, politik, budaya. Walaupun hukum berperan sebagai sarana pembaharuan, Jika eksistensi hukum tidak terjaga keseimbangannya disebabkan tekanan politik, ekonomi, sosial-budaya, maka arah penegakan hukum dapat dipengaruhi aspek tersebut.Prinsip egalitarian (persamaan derajat), baik aspek ekonomi, sosial, politik, budaya maupun hukum
dapat menciptakan sistem penegakan hukum dan ke
adilan. Sebaliknya, jika tercipta perbedaan yang tajam (sosial, ekonomi, politik dan budaya) terhadap hukum, maka dapat menimbulkan kesulitan dalam menciptakan sistem hukum dan keadilan, sebab hukum akan berpihak kepada kekuatan dominan dan ekstremitas.Isu p
enegakan hukum harus memperhatikan kepastian hukum walaupun kepastian hukum kemungkinan dapat bertolak belakang dengan rasa keadilan, namun demikian tanpa kepastian hukum rasa keadilan tidak akan terwujud. Keadilan tanpa kepastian menimbulkan subyektifitas yang pada gilirannya menciptakan ketidak-keadilan.Guna
menciptakan keadilan (substantif) yang berkepastian hukum segala tindakan atau perbuatan hukum harus sesuai dengan aturan hukum. Disini hukum sebagai panglima yang menjaga keseimbangan kepentingan antara kepastian dan keadilan dalam mencapai tujuan hukum, yakni ketentraman, ketertiban hukum dan keadilan dalam masyarakat. K
eadilan substantif (substantive justice), harus mendekatkan jarak antara keadilan individual dan keadilan sosial, kedua aspek ini sejauh mungkin dapat berpadu serta selaras dengan kepastian hukum, dan sebaliknya menghindari benturan kepentingan antara aspek keadilan individu dengan keadilan sosial, dan jika kedua aspek ini terwujud dalam kesatuan yang utuh maka tercipta keadilan substantif (keadilan individual terkandung dalam keadilan sosial dan keadilan sosial merupakan sublimasi keadilan individual (proses perubahan ke arah tingkah laku yang dapat di terima oleh nilai etika atau norma masyarakat). Pada dasarnya eksistensi
hukum mempunyai dimensi nilai moral yang terumuskan dalam asas hukum serta aturan (norma) hukum atas dasar otoritas negara sebagai suatu yang berposisi supra (the rule of law). Tegaknya supremasi hukum wajib diikuti warga masyarakat yang diikuti kesadarannya dalam mentaati perintah hukum. Menumbuhkan kesadaran
atas hukum acapkali memperlukan sarana (media) yang efektif melalui proses pendidikan dan pengajaran dengan jalan menanamkan pengetahuan, dan membentuk sikap yang positif untuk membangkitkan rasa patuh terhadap hukum serta hasil kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian atau surat pengangkatan oleh direktur atau surat keputusan/ penetapan lain yang menyangkut hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang bersifat mengikat. D
ambaan bagi negara, jika kesadaran dan kepatuhan hukum telah tertanam dalam hati warga masyarakat dan penyelenggara negara untuk membentuk sikap positif terhadap keberadaan hukum, dan pada gilirannya akan terbentuk budaya hukum. Dalam realitasnya, tidaklah mudah memahami hukum ketenagakerjaan karena hal ini menyangkut pemahaman hukum yang sarat dengan tafsir, sehingga bagi pekerja sangat kurang dapat dipahami, demikian pula bagi pengusaha yang dari semula kurang akrab dan kurang perduli terhadap kehadiran hukum, khususnya ketika hukum melakukan intervensi dan merugikan kepentingan pengusaha, seperti dipelbagai kota di Jawa Timur, terutama di Tulungagung yang masih maraknya
upah pekerja di bawah standar minimum,
baik disektor formal (PT, CV, toko swalayan, toko pada umumnya ) maupun informal (home industri atau usaha kecil tanpa siup). Bagaimana dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, jika upahnya masih di bawah UMK. Hal ini membuktikan
bahwa pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penindakan masih lemah dan k
urang tegas, sehingga maraknya pelbagai pelanggaran hukum bidang ketenagakerjaan tidak dapat terlepas dari perannya pemerintah selaku wasit yang mengawasi para pemain pelaku ekonomi, khususnya pengusaha.Pelbagai pendapat mengenai pengupahan dapat dikemukakan pernyataan
Erman Suparno, bahwa pengaturan pengupahan berdasarkan asas keseimbangan kepentingan, antara pemenuhan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja beserta keluarga dengan memperhatikan kemampuan, peningkatan produktivitas dan perkembangan usaha.Pada dasarnya ada 2 (dua) model pengaturan pengupahan, Pertama, pengupahan yang penetapannya melalui Gubernur, dimaksudkan sebagai jaring pengaman dan standar upah minimum untuk menjaga agar upah kerja tidak turun hingga ke tingkat paling rendah, akibat dari ketidakkeseimbangan antara permintaan serta penawaran tenaga kerja. Kedua, pengupahan yang penetapannya
berdasar kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja
melalui perundingan secara musyawarah, namun pengupahan tersebut harus di atas upah minimum. Dari kedua model tersebut, pengusaha lebih cenderung melaksanakan memberi
upah sesuai upah minimum kota/ kabupaten
dari pada menggunakan model kedua. Alasan pokok, penggunaan model pertama sangat praktis, walaupun berat melaksanakannya, dan jika melaksanakan model kedua, terlalu memakan waktu, prosedural dan berbelit-belit. Hal inilah yang membuat pengusaha lebih cenderung menggunakan model pertama, yaitu tidak berbelit-belit dan praktis pelaksanaannya (non prosedural), hanya saja pada tingkat faktual umumnya hanya perusahaan besar yang melaksanakan upah minimum kota/ kabupaten.Dasar pemikiran pembuat undang-
undang dalam menetapkan upah minimum kota atau kabup
aten hanya sekadar jaring pengamanan, bukan sebagai upah standar kota, atau kabupate
n, melainkan batas minimal bagi para pihak untuk menentukan upah kerja masing masing perusahaan berdasarkan atas negoisasi yang dilaksanakan melalui musyawarah.Perbedaan persepsi antara pegusaha (upah standar) dengan pekerja yang menilai atas dasar apresiasi bukan berdasarkan kebutuhan hidup layak, menimbulkan kepentingan yang berseberangan (non asas keseimbangan
kepentingan) dan pada gilirannya timbulnya aksi-aksi unjuk rasa dan/ atau mogok kerja. Di sini peran pemerintah sangat signifikan bagi tegaknya hukum dan keadilan dalam menciptakan
keseimbangan kepentingan sesuai asas pengawasan publik, asas campur tangan pemerinta
h dan asas keseimbangan kepentingan yang merupakan
domein pemerintah sesuai ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.Dengan demikian, jika pemerintah bertindak tegas dan tanpa diskriminasi berdasar ketentuan hukum dan rasa keadilan, maka akan tercipta hubungan kerja yang harmonis. Di sini
benturan kepentingan cenderung dapat dihindari melalui meja perundingan, sedangkan mengenai permasalahan adanya dampak krisis moneter dan ekonomi yang langsung, atau tidak langsung berpengaruh terhadap kepentingan perusahaan, khususnya dalam kegiatan proses produksi dan pangsa pasar dengan melalui perundingan untuk mencapai hasil yang dapat dipahami para pihak, maka kebutuhan hidup layak secara bertahap dapat terpenuhi, dengan memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi pasar, hukum, dan keadilan.Berdasarkan asumsi bahwa perbaikan upah pekerja dengan memperhatikan aspek hukum
, musyawarah-mufakat (keseimbangan kepentingan), pertumbuhaan ekonomi pasar, kualitas produksi, permintaan hasil produksi serta inflasi, maka akan terpenuhi, tanpa harus melakukan pelanggaran hukum. Langkah ini dapat menciptakan hubungan kerja harmonis, tercipta rasa memiliki (sense of belonging), bertanggungjawab (sense of responsibility) dan selalu introspeksi diri (sense of self introspection). Dengan demikian adanya krisis moneter serta ekonomi sebagai alasan pembenar untuk menghindari kewajiban hukum bagi majikan (pengusaha), yakni
memberi imbalan di bawah upah minimum kota/ kabupaten tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Di sini Ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, secara tegas melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum kota/ kabupaten. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, merupakan
katagori kejahatan,
dan dikenakan sanksi pidana penjara minimal, 1 (satu) tahun dan terlama 4 (empat) tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling besar, yaitu Rp. 400.000.000,oo (empat ratus juta rupiah)
. Oleh karena itu langkah terbaik dengan pola win-win solution (asas keseimbangan) dengan tetap memperhatikan hukum dan keadilan.C. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa alasan utama perusahaan tidak memberi (hak) upah sesuai ketentuan hukum, yakni disebabkan dampak krisis global, serta cenderung berpikir profit orientit
, sehingga tidak mengindahkan berlakunya hukum. Alasan demikian tidak dibenarkan hukum, kecuali alasan yang memenuhi persyaratan
ketentuan Pasal 90 ayat (2). Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Hukum tidak membenarkan adanya pembayaran upah di bawah ketentuan Pasal 90 (1) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003.Daftar Pustaka
Asshiddiqie J.
2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945, Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, UI. Jakarta.Attamimi A. Hamid S. 1998. Ilmu Perundang-Undangan (Dasar-Dasar, dan Pembentukannya), Kanisius.Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia, UI-Press
, Jakarta.Cohen Laurence J. 1989. New Bargaining Approaches to New economic Conditions : Pursuing a Mutualit of Interest, Journal, The Labor Lawyer America, 5 (Spring), No. 2 : 265.Djumadi. 2004. Hukum Perburuhan (Perjanjian Kerja), Raja Grafindo Persada, Jakarta.Fadjar A. Mukthi. 2001. Teori Hukum dan Teori Sosial, Univ. Widya Gama, Pasca Sarjana, Malang. Frenkel Stephen J. and Peetz D. 1998. Globalization and Industrial Relations in East Asia : A Three Country Comparison, Journal The University of California, USA, Vol. 37, No. 3 : 285.Huijbers Theo. 1990. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.Hutagalung TH.
1995. Hukum dan Keadilan dalam Pemikiran Filsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung. Ibrahim Johnny. 2006. Teori, dan Metodologi Penelitian Hukum Positif, Bayumedia
, Malang.Kjellberg. 1992. From Confrontation : A Tale of Three Countries, Industrial Relation Under liberal Democracy, Chapter 7 : 155-156.Kuwahara Mashiro Ken. 1982. Worker Participation in Decisions Within Undertakings in Japan, Journal, Comparative Labor Law 5 (Winter), No. 1 : 59Bagir Manan. 1999. Penelitian di Bidang Hukum, Jurnal, Puslitbangkum, Unpad, Bandung, No. Perdana. Marzuki Peter Mahmud.
2005. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.Mertokusumo S. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti
, Bandung.Munir M.
1996. Penggunaan Pengadilan Negeri Sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan Sengketa Dalam Masyarakat, Disertasi, Univ. Ai
rlangga, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum.Nasution BJ. 2004. Hukum Ketenagakerjaan, Mandar Maju, Bandung.Pujirahayu EW.
2001. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum, FH., Universitas Diponegoro, Semarang.Rahardjo S. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya bakti
, Bandung.Rajagukguk HP. 1993. Perlindungan Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja, Suatu Tinjauan dari Sudut Sejarah Hukum, Panel diskusi Universitas Indonesia, Jakarta.___________ 2000. Peran Serta Pekerja Dalam Pengelolaan Perusahaan, Orasi dan Panel Diskusi, Program Kajian Wanita dan Jender Pasca Sarjana Universitas Indonesia, FH, Jakarta.Rawls John.
1971. A Theory of Justice, The Belknap Press 0f Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, Ameri
ca. Salman S. O., Susanto A. F. 2004. Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung. Sapapoetra GK. 1983. Hukum Perburuhan Pancasila dan Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung.Pay
aman S. 2000. Peranan Serikat Pekerja dan Paradigma Baru Hubungan Industrial, Jkt.Sri Soemantri M.
2000. Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Hukum, Makalah, Seminar, Kerjasama Unpad dan Lembaga Ketahanan Nasional, Bandung.Sri Soemantri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni
, BdngUwiyono A. 2001. Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana, FH. UI. Jakarta.Peraturan Perundang-
undangan :
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kamus Hukum :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakart
a.